0
Kehidupan Thorndike terkenal dengan kejeniusannya (IQ-nya diperkirakan hampir 200) dalam melahirkan karya-karya besarnya seperti referensi. Thorndike lahir di Williamsburg, Massachusetts 31 Agustus 1874 dari garis keluarga pendeta di Amerika. Edward Lee Thorndike meski secara teknis seorang fungsionalis, namun ia telah membentuk tahapan behaviorisme Rusia dalam versi Amerika. Thorndike mendapat gelar sarjananya dari Wesleyan University di Connecticut pada tahun 1895, dan master dari Hardvard pada tahun 1897. ketika disana, dia mengikuti kelas bersama dengan Williyams James dan mereka pun cepat menjadi akrab. Thorndike menerima beasiswa di Colombia, dan mendapatkan gelar PhD-nya tahun 1898. kemudian dia tinggal dan mengajar di Colombia sampai pensiun pada tahun 1940. Dia menerbitkan suatu buku yang berjudul “Animal intelligence, An experimental study of associationprocess in Animal”. Buku ini yang merupakan hasil penelitian Thorndike terhadap tingkah beberapa jenis hewan seperti kucing, anjing, dan burung yang mencerminkan prinsip dasar dari proses belajar yang dianut oleh Thorndike yaitu bahwa dasar dari belajar (learning) tidak lain sebenaranya adalah asosiasi, suatu stimulus akan menimbulkan suatu respon tertentu. Teori belajar Thorndike disebut “ Connectionism” karena belajar merupakan proses pembentukan koneksi-koneksi antara stimulus dan respon. Dasar-dasar teori “Connectionism” dari Edward L. Thorndike diperoleh juga dari sejumlah penelitian yang dilakukan terhadap perilaku binatang. Penelitian-penelitian Thorndike pada dasarnya dirancang untuk mengetahui apakah binatang mampu memecahkan masalah dengan menggunakan “reasoning” atau akal dan dengan mengkombinasikan beberapa proses berpikir dasar yang dimiliki.
Dalam penelitiannya, Thorndike menggunakan beberapa jenis binatang , yaitu anak ayam, anjing, ikan, kucing, dan kera. Percobaan yang dilakukan mengharuskan binatang-binatang tersebut keluar dari kandang untuk memperoleh makanan. Untuk keluar dari kandang, binatang-binatang tersebut harus membuka pintu, menumpahkan beban, dan mekanisme lolos lainnya yang sengaja dirancang. Pada saat dikurung binatang-binatang tersebut menunjukkan sikap mencakar, menggigit, menggapai, dan bahkan memegang atau mengais dinding kandang. Cepat atau lambat, setiap binatang akan membuka pintu atau menumpahkan beban untuk dapat keluar dari kandang dan memperoleh makanan. Pengurungan yang dilakukan berulang-ulang menunjukkan penurunan frekwensi binatang tersebut untuk melakukan pencakaran, penggigitan, penggapaian, atau pengaisan dinding kandang, dan tentu saja waktu yang diperlukan untuk keluar dari kandang cenderung menjadi lebih singkat.
Dari hasil penelitiannya, Thorndike menyimpulkan bahwa respon untuk keluar kandang secara bertahap diasosiasikan dengan suatu situasi yang menampilkan stimulus dalam suatu proses coba-coba (trial and error). Respon yang benar secara bertahap akan diperkuat melalui serangkaian proses coba-coba, sementara respon yang tidak benar akan melemah atau menghilang. Teori Connectionism Thorndike ini juga dikenal dengan nama “instrumental conditioning”, karena respon tertentu akan dipilih sebagai instrumen dalam memperoleh “reward” atau hasil yang memuaskan. Thorndike mengemukakan tiga dalil tentang belajar yaitu, “law of effect” (dalil sebab akibat), “low of exsercise” (dalil latihan atau pembiasaan) dan “low of readlines”(dalil kesiapan).
Dalil sebab akibat (law of effect) menyatakan bahwa situasi atau hasil yang menyenangkan yang diperoleh dari suatu respon akan memperkuat hubungan antara stimulus dan respon atau perilaku yang dimunculkan. Sementara itu, situasi atau hasil yang tidak menyenangkan akan memperlemah hubungan tersebut atau dengan kata lain suatu perbuatan yang menghasilkan kepuasan akan cenderung untuk diulangi kembali, sebaliknya suatu perbuatan yang menghasilkan kekecewaan akan cenderung untuk tidak diulangi. Dalil latihan/pembiasaan (low of exsercise) menyatakan bahwa latihan akan menyempurnakan respon. Pengulangan situasi atau pengalaman akan meningkatkan kemungkinan respon yang benar. Walaupun demikian, pengulangan situasi yang tidak menyenangkan tidak akan membantu proses belajar. Dalil kesiapan (low of readlines) menyatakan kondisi-kondisi yang dianggap mendukung dan tidak mendukung pemunculan respon. Jika siswa sudah siap (sudah belajar sebelumnya) maka dia akan siap untuk memunculkan suatu respon atas dasar stimulus/kebutuhan yang diberikan. Hal ini merupakan kondisi yang menyenangkan bagi siswa dan akan menyempurnakan pemunculan respon. Sebaliknya jika siswa tidak siap untuk memunculkan respon atas stimulus yang diberikan atau siswa merasa terpaksa memberi respon maka siswa mengalami kondisi yang tidak menyenangkan yang dapat memperlemah pemunculan respon dan apabila siswa sudah siap melakukan respon tetapi tidak diberikan kesempatan untuk melakukannya, maka akan muncul ketidakpuasan/kekecewaan yang mendorong individu untuk melakukan aktivitas tertentu sebagai pelampiasan dari rasa tidak puasnya. Selain ketiga hukum primer di atas, Thorndike juga mengemukakan 5 hukum sekunder yang dikenal dengan “Law Of Multiple Response” (hukum reaksi berganda), “Partial Activity”, “Attitude”, “Reaction By Analogi”, dan “The Law Of Associative sheffting”.
Dalil “ Law Of Multiple Response” menjelaskan bahwa dalam menghadapi stimulus baru, akan dipakai beberapa respon, sampai menghasilkan respon yang tepat. Dalil “Partial Activity” menjelaskan tentang kemampuan mengadakan reaksi secara selektif terhadap situasi yang dihadapi. Dalil “Attitude” menjelaskan bahwa arah dan bentuk belajar yang kita lakukan dipengaruhi oleh sikap kita. Dalil “Reaction By Analogi” menjelaskan dalam menghadapi situasi baru, individu cenderung melakukan reaksi yang pernah dilakukannya terhadap situasi yang sama atau mirip dengan situasi baru tersebut. Hukum ini dipakai untuk menyusun hukum transfer dalam belajar, yaitu “Theory Of Identital Element (bila terdapat elemen yang identik dengan situasi yang dihadapi, semakin besar kemiripan, semakin besar kemungkinan terjadinya transfer)”. Dalil “The Law Of Associative Sheffting” merupakan dalil yang hampir sama dengan belajar pengkondisian (berdasarkan belajar asosiatif).
Dari sekian banyak penelitian yang dilakukannya, Thorndike lalu menyimpulkan tentang pengaruh proses belajar tertentu terhadap proses belajar berikutnya, yang dikenal dengan proses “Transfer Of Learning” atau perampatan proses belajar. Thorndike mengemukakan bahwa latihan yang dilakukan dan proses yang terjadi dalam mempelajari suatu konsep akan membantu penguasaan atau proses belajar seseorang terhadap konsep lain yang sejenis atau mirip (assosiative shifting). Teori Connectionism dari Thorndike ini dikenal sebagai teori belajar yang pertama.